Monday, 24 December 2012
Kisah Sukses Peternak KELINCI HIAS
Sukses Budidaya Kelinci - Budidaya kelinci memang menggiurkan. Apalagi kelinci hias,harganya bisa 10 kali lipat harga kelinci konsumsi.Urine dan fesesnya pun bisa dijadikan fulus.
Apabila hobi anda berwisata kuliner pasti sependapat bahwa restoran dengan menu daging kelinci kian menjamur. Teksturnya yang lembut dan gurih makin digemari karena kandungan kolesterol daging kelinci jauh lebih rendah dibandingkan daging sapi atau kambing sehingga lebih sehat jika di konsumsi. Sejatinya budidaya kelinci telah lama pula dilakukan orang. Sebab keuntungan beternak kelinci lumayan menggiurkan. Binatang ini sudah siap kawin ketika memasuki usia 6 bulan dan masa buntingnya relative pendek, yakni 29 – 31 hari. Sekali reproduksi kelinci beranak 4 – 12 ekor anak, artinya tidak butuh waktu lama untuk mencapai titik impas usaha.
Namun tidak hanya itu, seiring berkembangnya kelompok masyarakat penyuka binatang hias, hewan imut-imut bertubuh mungil dengan bulunya yang lembut itu telah masuk hitungan sebagai incaran para pehobi. Maka dari sisi nilai ekonomi jelas semakin menguntungkan.
Rudy Hustamin yang telah lebih dari 7 tahun menggeluti usaha ternak kelinci, khususnya kelinci hias mengatakan hal serupa, “Lebih menguntungkan kelinci hias karena bermain di dunia hobi. Kalau berhubungan dengan hobi orang tidak pernah melihat uang,berapa saja berani. Jenis New Zeland untuk konsumsi dilepas di pasaran dengan harga Rp 10.000. Sedangkan kelinci hias jenis Hotot dijual Rp 100.000, “ ujarnya.
Lebih rinci, kelinci hias mulai memiliki nilai jual setelah umur 2,5 bulan. Dalam setahun seekor indukan mengalami 3 kali masa kawin atau 3 kali bunting. Taruh kata, rata-rata sekali beranak melahirkan 5 ekor, berarti dalam setahun menghasilkan 15 anakan. Dengan harga jual Rp 75.000 – Rp 100.000, maka setahun per ekor bisa menghasilkan pendapatan hingga Rp 1.500.000 dengan kelangsungan hidup mencapai umur 4 tahun. Indukan yang sudah tidak produktif tersebut masih memiliki nilai ekonomis, yakni sebagai hewan potong di resto atau warung sate kelinci.
Memang benar, untuk memenuhi selera konsumen Rudy tidak hanya mengandalkan 1 jenis kelinci local, melainkan juga mendatangkan beberapa jenis kelinci hias dari luar negeri, seperti Lop, Angora, Rex, Hotot, Dutch, Dwarf, Lion, maupun Flamish Giant. Perbedaanya, apabila kelinci local secara fisik bagian mulut dan telinganya lebih panjang , tubuhnya relatif lebih besar dengan bobotnya 2-3 kg dan biasanya terdapat pola-pola di atas bulu, kelinci jenis impor lebih variatif. Ada kelinci berjenis kuping turun, kuping kecil dan sebagainya. Kelinci jenis hotot yang paling besar bobot tubuhnya hanya 1,5 kg. Tetapi terdapat pula kelinci impor yakni Flamish Giant, per ekornya bisa mencapai 10 kg.
Untuk segi pemeliharaan, secara umum antara kelinci hias dengan kelinci local yang sebagian besar hanya untuk keperluan konsumsi, tidak berbeda jauh. “ Tetapi karena asalnya dari luar negeri maka perlu sedikit adaptasi. Kelinci hias lebih gampang mati , kelinci local tidak,” Rudy menjelaskan. Yang paling pokok, setiap hari kebersihan kandang harus dijaga. Sebab kalau tidak , binatang-binatang ini rentan penyakit, terutama diare, scabies ( gudig/korengen ) dan radang paru-paru.
Sementara itu mengenai biaya operasional khususnya pakan kelinci hias, peternak tidak boleh hanya bergantung pada rumput atau kangkung saja melainkan harus disertai makanan tambahan. Tapi jangan khawatir, dalam hitungan akhir jatuhnya biaya malah lebih murah, Rudy mengaku biasa memberikan pellet buatan dari bahan dedak, bungkil kedelai dan ampas kelapa. Dalam sebulan ia bahkan memproduksi sendiri tidak kurang dari 20 ton pellet untuk dipasarkan dengan berbagai nama merk.” Kita punya induk sekitar 1.300 ekorhanya membutuhkan sekitar 6 karung rumput setiap hari, ditambah pakan konsentrat 70 kg. Efisien sekali, kalau hanya pakai rumput sehari harus 1 truk,” akunya.
Di Bandung Jawa Barat, Rudy telah memiliki kandang berbaterai berisi sekitar 1.300-2.000 indukan, dan mempekerjakan kurang lebih 50 orang . Setiap minggunya ia biasa mengirim kelinci hias ke seluruh pet shop di Jakarta dan sekitarnya sebanyak 600-700 ekor. Namun bukan hanya kelinci hias atau penjualan pellet saja, Rudy bertutur terdapat beberapa penghasilan tambahan lain pula. Pasalnya baik urine ( air kencing ) atau feses ( kotoran ) kelinci memiliki nilai jual tinggi. Urine yang di tamping lalu dikemas dalam botol dan diberi label, dijual sebagai pupuk organic Rp 10.000 / liter. Dalam sebulan paling tidak ia bisa mengumpulkan 1.500 botol. Sementara itu feses dicampur dengan abu sekam sisa bahan bakar pabrik tahu miliknya, di Jakarta laku Rp 6.000 / sak sebagai pupuk tanaman.” Setiap minggu kita bisa kirim sekitar 800 karung. Lebih gede sampingannya,”imbuhnya sambil tersenyum.
Menurutnya, beberapa waktu terakhir prospek cerah kelinci hias semakin bertambah setelah merebak kasus flu burung. Sedikit demi sedikit binatang unggas mulai ditinggalkan, kemudian orang ganti melirik kelinci. Maka sebagai antisipasi akan permintaan pasokan yang terus meningkat ia mengembangkan plasma di daerah Ciwidey dan menyiapkan sebuah lokasi berkapasitas lebih besar di Cipanas. Ke depan akan ramai sampai ke luar kota. Kita sudah masuk sampai ke Samarinda dan Papua,” ujar pengusaha yang kini sudah merambah budidaya hamster, sapi perah, pabrik tahu, hingga jual-beli perusahaaan tersebut.
Bisnis penangkaran hamster pria kelahiran Jambi 1972 ini pun boleh dibilang berhasil. Tiap minggu Rudy dapat menjual 2.000 – 3.000 ekor binatang pengerat mirip tikus tersebut ke seluruh Jabodetabek, ditambah ekspor sebulan sekali sebanyak 3.000 ekor ke Arab Saudi. Bersamaan itu juga ia mengirim kelinci hias sekitar 300 – 400 ekor tiap 1 atau 2 bulan sekali.
Menyinggung pengembangan budidaya kelinci hias dengan sistem plasma, Rudy berujar, jikalau hal itu relatif lebih mudah dijalankan, dikarenakan beternak kelinci lebih bagus apabila tidak dipelihara dalam satu kelompok berjumlah besar. Alasan utama pengelolaan akan lebih mudah dilakukan, seperti merawat kebersihan kandang dan mengawinkan indukan setiap hari.
“Saya punya planning di masa depan akan mengajak kerjasama pemerintah, kalau nanti saya sudah siap, saya akan menyiapkan bibit yang bagus sekitar 5.000 ekor untuk proyek masyarakat di daerah tertinggal. Kelinci itu berkembang biaknya cepat, sehingga minimal membantu penyediaan protein hewani,” katanya seraya mengaku. Pada awalnya ia pun hanya berfikir untuk berbisnis kelinci potong, bukan untuk binatang hias.”Karena di Jakarta ternyata lebih respek untuk hias,” imbuhnya beralasan.
Sejarahnya, selepas terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998, mantan karyawan di perusahaan IT tersebut mulai mencari kesempatan membuka usaha sendiri. Setelah sekian waktu menimbang-nimbang, tahun 2000 ia tertarik pada budidaya kelinci yang menurutnya waktu itu belum banyak pesaing. Saat itu dia mempercayakan modal Rp 12 juta kepada salah seorang kenalan untuk mengelola usaha tersebut di Cianjur, Jawa Barat. Tetapi saying tidak berjalan mulus, hanya berjalan 3 bulan akhirnya berantakan.
Tidak patah semangat, tahun 2001 ia mulai usaha kelinci hias tersebut di daerah Bandung dan tidak lagi mengandalkan orang lain, melainkan ditangani sendiri. Rudy juga gigih dalam hal pemasaran, seminggu sekali atau tiap ada kesempatan ia sambangi pet shop di Jakarta satu per satu, sehingga akhirnya membuahkan hasil. Meskipun pada awalnya banyak yang kurang yakin kelinci bisa hidup dengan hanya diberi pellet, namun setelah terbukti, seterusnya pemasaran pun berjalan lancar. Bahkan khusus untuk pakan, dalam sebulan ia bisa menjual sampai 20 ton dengan harga Rp 4.000- Rp 6.000 / kg.
“Saya mulai benar-benar dari nol.Dari semula berupa kandang kayu, sekarang sudah punya kandang kawat. Syukurlah, sekarang kita juga akan segera memperluas usaha di Cipanas, lahan sudah disediakan . Rencananya berkapasitas muat 5000 ekor indukan,” tuturnya. Omsetnya,sebulan jelas mencapai ratusan juta. Kurang percaya ? Silahkan dibuktikan sendiri !
(Sumber : Majalah Pengusaha Bulan Mei 2008)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Silahkan Komen Rider,